Dua Belas Tahun. Dan Cukup.
Dua belas tahun. Sekali lagi, DUA BELAS TAHUN. Bukan dua belas bulan yang bisa disapu waktu.
Bukan dua belas minggu yang bisa dikalahkan logika. Ini dua belas tahun. Waktu yang cukup untuk tumbuh, berubah, dan bahkan menyembuhkan. Tapi justru menjadi liang dimana seluruh jiwaku tenggelam perlahan-lahan.
Dua belas tahun aku mencintaimu, dengan debar yang selalu kupelihara.
Dua belas tahun aku meyakinkan diriku bahwa kesetiaan akan selalu menemukan jalannya. Aku tidak mencintaimu dengan cara setengah. Aku mencintaimu dengan seluruh hidupku. Dengan setiap mimpi yang kubuat, selalu ada kamu didalamnya. Dengan setiap doa yang kupanjatkan, namamu selalu kutitipkan diantara harap-harap kecil yang bahkan tuhan sudah hafal nadanya. Aku mencintaimu bukan karena kamu sempurna, tapi karena aku percaya kamu bisa menjadi rumah.
Namun nyatanya kamu bukanlah rumah.
Kamu adalah badai yang datang saat aku mulai membangun ulang pondasi. Kamu adalah gempa yang mengguncang hidupku ketika aku baru saja percaya bahwa semuanya bisa kembali tenang. Ditahun ke-dua belas, ketika aku pikir semuanya akan mengarah pada kebahagiaan, kamu justru menghancurkanku, berkali-kali. Bukan perlahan, bukan dengan isyarat yang samar, tapi dengan cara paling telanjang. Tanpa penjelasan, tanpa rasa bersalah. Semuanya datang darimu.
Tahun terakhir itu, membunuh semua hal yang kubangun selama bertahun-tahun.
Aku tak punya lagi kenangan yang bisa kukenang dengan tenang. Tak ada lagi tempat di dalam diri yang bisa kusebut aman. Semua runtuh. Hatiku, harga diriku, bahkan kepercayaanku terhadap cinta-semuanya runtuh karena kamu. Kamu pergi dan meninggalkan aku sebagai reruntuhan dari versi diriku yang paling utuh.
Dari banyaknya luka yang kamu timbulkan, pengkhianatanmu yang paling tidak termaafkan. Pengkhianatan itu, sungguh menghancurkanku. Menghilangkan hampir seluruh diriku. Aku dibombardir dengan banyaknya rasa ketidakpercayaan, bahkan pada diriku sendiri. Namun aku pun dipaksa bangkit, tanpa jeda untuk berduka, tanpa jeda untuk bertanya "mengapa", tanpa jeda untuk sekedar meratap dan menata, agar kedua putra kita tidak sehancur aku. Ya, hanya aku, dan cukup aku yang menerima kehancuran akan ulahmu.  
Lucunya, aku tetap diam. Aku tetap menulis namamu. Aku tetap menoleh ke arah yang sama. Tapi kali ini, tidak lagi untuk berharap kamu kembali. Melainkan untuk melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa kamu telah pergi dan tinggalkan semua menjadi keping
Dua belas tahun,
Aku mencintaimu disetiap denyut nadi. Disetiap hembusan nafas, disetiap pengorbanan yang aku berikan. Tapi ternyata semua itu tidak pernah cukup untukmu.
Dan sekarang, Dua Belas Tahun. Cukup.
Aku tak ingin lagi hancur dengan cara yang sama. Mari kita berusaha untuk tak saling menemui, dan kembali menjadi asing.

.jpeg)
Komentar
Posting Komentar