Ateis Paling Minimalis (2)
Kupikir, melahirkan anak kedua akan menambah harmonisnya rumah tangga. Kupikir, melahirkan anak kedua akan melengkapi keluarga. Kupikir, melahirkan anak kedua dia semakin cinta. Namun Tuhan menamparku begitu sempurna.
Hal yang kualami dan kudapatkan berbeda 360 derajat dari yang kubayangkan. Aku melalui segala proses pasca lahiran sendirian. Tanpa dukungan, tanpa pengertian. Banyak hal yang terjadi begitu cepat dan sulit kucerna. Bahkan aku tidak sempat bertanya "apa dan kenapa". Ditengah prahara yang menimpa, aku begitu naif, berkeyakinan bahwa dia tetap seperti sosok yang sempurna. Maka segala perasaan aneh kutepis dengan keras, kubuang jauh segala rasa curiga.
Aku remuk, namun rumah tanggaku masih terus kupeluk. Aku hancur, namun keluarga kecilku masih kurangkul. Perpisahan tidak pernah melintas sedetikpun di pikiran.
Aku tidak pernah meminta Tuhan untuk memberikan yang terbaik untukku. Aku tidak pernah memohon pada Tuhan untuk memberikan petunjuk jika memang dia buruk untukku. Aku tidak peduli apakah dia baik atau buruk untukku. Aku hanya ingin terus bersamanya. Bersama dia yang sudah menjadi Tuan bagiku, segalaku, semestaku, arah yang menuntun hidupku. Kurayu Tuhanku tanpa putus. Saat itu, aku terus berbisik, "Ya Tuhan, telah engkau persatukan kami dalam pernikahan... Maka apa yang telah engkau satukan kumohon jangan engkau pisahkan".
PS : its 23.14 dan baby number 2 masih aktif, bakal disambung lagi setelah bocil lelappp (kalo ga meleset) hehehe
Kalo kata Hirotada Radifan, ikan cucut… lanjut
Menidurkan anak sampe bener-bener lelap emang butuh banyak waktu dan kadang-kadang disertai dengan effort. Semalem sbenernya nidurin baby number 2 ga terlalu susah, dipukpuk dan disayang ga lama juga lelap. Pengen langsung lanjut ngeblog lagi tapi hati tiba-tiba merasa hangat karena berbaring diantara kedua anakku. Jd gamau beranjak dan ciumin tangan mereka bergantian, pelukin satu-satu, doain sampe air mata tumpah, dan lanjut ikut tidur juga sambil membawa rasa tenang dan damai yang ga bisa dideskripsikan dgn kata. Sementara malem ini, bener-bener jungkir balik buat mereka semua tidur. Dari lampu idup sampe lampu dimatiin, dari buat susu berkali-kali, disusul yg kecil tiba-tiba pup, yg gede pengennya dielus-elus, akhirnya sekarang terdengar juga suara dengkuran tidur mereka. Alhamdulillah.
Kadang kalo mereka semua sudah tertidur begini, aku mandang wajah mungil mereka lama dan dalam diam. Mereka terlelap sambil mendengkur, terkadang tangannya gerak sekali-sekali. Wajah mereka itu… campuran antara gen ku dan orang yang dulu kupanggil sayang. Kolaborasi limited edition dari dua manusia yang kini sejauh matahari. Kadang aku pikir, jadi ibu itu seperti memakai gaun pesta didapur. Ga nyambung, but somehow kita jalani juga dengan anggun, tapi juga belepotan sana sini. Bajuku hari ini mungkin ga matching. Jilbabku? Udah kusut sejak pagi. Tapi anakku tersenyum melihatku. Dan itu rasanya… kayak pake parfum mahal yang cuma bisa dipake pas momen spesial. Jaitan caesarku bahkan sampe sekarang masih terasa cenat cenut, lukanya mungkin membekas seumur hidup. Dan tiap ngaca, kalo lihat perutku, aku selalu cemberut. Tapi tiap liat senyum mereka aku serasa jadi manusia paling beruntung. Capek, tapi sayang. Berantakan, tapi tetap peluk. Nangis, tapi ga nyerah juga. Lucunya semua rutinitas ini kalo sehari aja ga jalan, kayak ada yang kurang. Sungguh mereka berdua yang masih kecil ini takdir yang sangat kusayangi dan akan selalu dinadi.
![]() |
| Bonus foto bayik yg akhirnya ketiduran dipelukan |
Berbicara tentang cerita hidupku… kala itu aku benar-benar dibuat frustasi. Tuhan sepertinya tidak mengabulkan pintaku. Tuhan justru menuntun aku kearah berlawanan, memberikan banyak petunjuk dan menjawab segala ketidak tenangnya hatiku. Banyak jalanku dipermudah dalam mengetahui pengkhianatannya kala itu. Tapi aku lagi-lagi begitu naif. Aku tidak terima, denial semuanya. Kutanyakan padanya namun dia pun tetap mengelak segala bukti yang kupunya. Aku yang lemah tidak siap dengan kehancuran, tidak siap dengan kehilangan, aku yang belum sepenuhnya pulih pasca melahirkan dipaksa untuk mencerna semua keabu-abuan. Lagi, hatiku menolak kebenaran dan mataku kututup dari segala kejadian. Aku memutuskan untuk mempercayainya. 12 tahun bukan waktu yang singkat untuk menanggalkan segalanya. Setengah mati aku berusaha untuk tidak ingin tau banyak hal, selain apa yang diceritakannya. Setengah mati aku membatasi diri dari segala informasi yang kutakut semakin membawaku kearah yang tak kumau. Lagipula, saat itu aku harus berjuang untuk diriku sendiri. Luka caesarku masih begitu terasa, ditambah infeksi jahitan yang cukup membuatku stres juga. Belum lagi menstruasi yang begitu tidak teratur sebagai tanda aku mengalami gejolak hormon pasca melahirkan. Sungguh duniaku kacau balau dan aku benar-benar lelah saat itu. Pengen rasanya tiap malem nangis sambil ditemenin, ditenangin, disayang-sayang dan dipeluk sambil dibisikan kata “kamu hebat sudah melalui semuanya dengan baik” atau sekedar ucapan “terima kasih sudah berjuang, mengandung dan melahirkan” atau pertanyaan tentang “ceritain dong gimana rasanya kamu diruang operasi, sendirian tanpa kutemani hingga anak kita lahir kebumi”.
Namun Tuhan seperti menyiram air kepadaku yang sudah lama terlelap dan mimpi dalam keindahan. Terseok-seok aku menghadapi diriku sendiri, diiringi juga berbagai kabar tentang pengkhianatannya. Aku sungguh tidak siap. Tiap malam aku menunggunya pulang sambil mendoakannya, masih terus merayu Tuhan untuk mengembalikannya padaku. Pada kedua anakku. Tiap hari menjelang jam pulang kerja, aku mengintip dibalik jendela kantor sambil berharap mobilnya sudah menungguku dibawah seperti dulu.
Aku takut kehilangan. Aku takut merubah kebiasaan. 12 tahun bukan waktu yang singkat dan tidak mudah untuk menata ulang segalanya. 12 tahun aku sudah kehilangan diriku sendiri. Segala caraku telah berkiblat padanya, mengikuti segala arahannya. Canggung rasanya jika aku menjalani hidup tanpanya. Aku sudah biasa diatur, sudah terbiasa bergantung. Aku berkeyakinan tidak akan utuh dan mampu tanpa dirinya.
Maka, Tuhan menamparku dengan sempurna.

Komentar
Posting Komentar