Ateis Paling Minimalis (1)
Beberapa psikolog dan seorang psikiater yang pernah kudatangi mengatakan, menulislah. Tulislah apa yang kurasakan, sedihku, senangku, aktivitasku, sebagai salah satu cara untuk melepaskan perasaan itu. Apapun itu, tulislah. Maka, pada kesempatan luangku ini, kutulis apa yang pernah kurasakan disini.
Minggu lalu, aku mengikuti kajian UHA yang temanya "Jodoh, Rejeki, Maut" dan pembahasannya apalagi kalau bukan mengenai Takdir. Pada kajian itu, tidak ada yang ingin kutanyakan. Tidak ada rasa penasaran. Karena aku sudah percaya dengan konsep sebuah Takdir. Kajian UHA hanya memperkuat bahwa apa yang terjadi padaku sesungguhnya sudah digariskan sejak dulu di Lauhul Mahfudz.
Jujur aku sedih degan takdir berumah tangga yang digariskan
untukku, meski aku tidak pernah bertanya kepada Tuhan “Mengapa Harus Aku?”,
tapi tetap saja rasanya berat untuk dilalui. Aku tetap tertatih dan merasakan banyak pedih.
Aku tidak tau apa pertimbangan Tuhan dan mengapa aku yang terpilih untuk menjalankan takdir ini, tapi lagi-lagi aku percaya bahwa Tuhan pasti takdirkan aku pada segala sesuatu yang baik. Setidaknya, itulah doaku disetiap sholatku. Dengan pemikiran seperti itu, aku sedikit terbantu untuk terus bertahan hidup karena akan ada keindahan yang akan datang dalam hidupku disuatu waktu. Mudah-mudahan.
Aku mengaguminya, melebihi diriku. Mempercayai segala ucapannya lebih dari percayaku pada diriku. Aku bahkan mengutamakannya dalam segala sesuatu. Pikirku, ini bukanlah sebuah kebodohan, namun suatu baktiku sebagai seorang istri. Dan seperti inilah aku Ketika mencintai. Aku tidak peduli seberapa banyak harta yang kupunya, bahkan jika aku tidak punya apapun, segalanya tetap baik-baik saja. Asalkan dia masih disisiku, menjadi imamku, dan mendampingiku. Asalkan dia masih bersamaku, aku yakin semua baik dan teratasi. Semua yang kupunya, semua yang kurasakan, hanya padanya kuceritakan dan kucurahkan. Aku tidak memiliki jarak dan rahasia padanya. Aku jadikan dia semesta bagiku, tempat aku bernaung dan berlindung. Hingga akhirnya, tanpa sadar, aku begitu bergantung. Aku masih ingat betapa seringnya aku berdoa pada Tuhan, agar jika suatu saat ajal menjemput, aku ingin dipanggil lebih dulu, karena aku tidak akan sanggup hidup tanpanya.
Aku ingat, -dengan jelas-, bagaimana dia mendekatiku. Bagaimana dia membuat aku begitu istimewa, seperti tiada saingan, tiada duanya. Aku ingat, bagaimana pada akhirnya aku merasa begitu percaya diri bahwa kami akan selamanya. Namun, aku dihadapkan dengan pahitnya sebuah kenyataan. Aku masih bisa menerima jika kami berselisih paham, atau berbeda pendapat, atau adanya kekerasan. Namun yang datang kali ini adalah pengkhianatan. Pengkhianatan tidak pernah terbayangkan dalam pikiranku dan aku tidak pernah bersiap. Aku masih terbayang bagaimana dulu dia menginginkanku dan aku merasa akulah dunianya. Kupikir aku selalu jadi nomor satunya, hingga akupun jadikan dia segalaku.
Pengkhianatan = Kemustahilan. Pikirku saat itu. Dan kali ini, Tuhan menamparku habis-habisan, begitu keras dan tajam. Aku runtuh dan meluruh, jiwa dan raga, pikiran dan perasaan. Semua seperti tsunami yang datang tanpa peringatan.
Sekali lagi kukatakan, aku benar-benar runtuh.
Komentar
Posting Komentar