Ateis Paling Minimalis (3)

Mungkinkah 12 tahun yang kuhabiskan bersama akan sia-sia? Mungkinkah 12 tahun yang kuhabiskan bersama hanya jadi kenangan? Mungkinkah 12 tahun yang kuhabiskan akan berakhir karena pengkhianatan? Aku pernah menanyakan padanya, "Apakah kita selamanya?" dan dia menjawab "Iya".

Aku menolak segala fakta. Harga diriku terjun bebas, kubiarkan diinjak demi mempertahankan rumah tangga. Kubiarkan diriku jatuh, lemah, dan tidak berdaya dihadapannya. Pengkhianatannya bahkan sudah terang-terangan, sleep call bersama selingkuhan sementara aku dibiarkan sendirian sambil menangis dalam doa yang terus kupanjatkan. Tapi aku tetap terima. Dalam kehancuran, aku berusaha mempertahankan pendirianku, berusaha menyadarkanmu, melalui berbagai doa yang diiringi air mata. Pikiranku begitu berisik, dan aku berkali-kali merayu Tuhan untuk segera menyadarkannya.

Sejujurnya, aku tidak ada niat untuk mengurus perceraian ke pengadilan. Aku sudah siap menerima panggilan atas pengaduannya, atau mungkin Tuhan akan kembalikan kami dalam ikatan. Hingga akhirnya salah satu temannya menghantamku dengan keras dan habis-habisan, mengatakan padaku apakah aku ini terlalu baik, terlalu bodoh, atau terlalu naif? Aku masih menganggap keluarganya berada dipihakku, karena walau bagaimanapun, aku sudah 6 tahun menjadi bagian dari keluarga mereka, dan sudah 2 orang anak yang kulahirkan, meneruskan garis keturunan mereka. Hingga akhirnya, temannya mengirimkan foto keluarganya dan keluarga perusak itu direstoran, makan bersama, berfoto bersama. Temannya mengatakan jika sebenarnya tidak ingin mengirimkan foto itu padaku, karena pasti sangat menyakitkan untukku. Namun karena aku masih menganggap hanya Dia saja yang jahat padaku sementara keluarganya tidak, maka terpaksa foto itu dikirimkan padaku. Untuk menyadarkanku, membuka mataku. 

Maka seketika aku mengiba pada diriku sendiri. Betapa diri ini bahkan tidak ada artinya. Hatiku seperti terjun dari lantai seribu. 6 tahun menjadi bagian dari keluarga mereka, tidak membuat mereka memiliki hati untukku. Mereka lupa bahwa aku pun anak manusia yang dibesarkan dengan cinta dan kasih oleh orang tuaku. Mereka lupa bahwa akupun begitu berharga untuk keluargaku. Detik itu, bersama derai air mata, aku berjanji akan menyelesaikan hubungan ini dengan segera. Kuputuskan untuk menyudahi tulusku. Tidak ada lagi air mata yang jatuh untuknya, doa yang memohon kembalinya, kesabaran untuk menungguu kesadarannya. Akan kupastikan aku menjadi kenangan yang benar-benar hilang.

Aku masih ingat, siang itu, dijalan pulang dari Pengadilan Agama setelah sidang terakhir, aku dan Papa bersama dalam diam dimobil untuk waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya aku bersandar dibahu Papa, tangisku pecah. Ternyata wanita dewasa ini tetaplah anak kecil dimata Papanya. Sisi diriku yang hancur akhirnya terbuka, saat itu aku begitu lemah. Banyak kata yang ingin kuucap pada Papa namun hanya berakhir sebagai air mata dihadapannya. 

"Papa, kenapa aku harus menikah jika akhirnya aku harus berpisah?"

"Papa, gimana nasibku kedepan, gimana 2 anakku?"

"Papa, maaf aku sudah mengecewakanmu, laki-laki pilihanku menghancurkan buah hatimu ini."

"Papa, kedepan aku harus bagaimana?"

"Papa, aku ga siap keluar menghadapi dunia."

- Serta ungkapan dan tanya lain yang hingga sekarang tidak pernah kuutarakan padanya.

Aku tak mengatakan satu katapun kecuali air mata dan isakan, dan Papa memeluku, memegang kepalaku. Aku masih ingat kalimat yang diucapkannya saat itu.

"Kak, kakak hebat sudah melalui semua ini. Ternyata Papa sudah membesarkan anak yang kuat. Jangan menyesal dan jangan khawatir."

Ada perasaan lega dalam hatiku, namun lukanya masih borok dan basah.

Bagaimana mungkin, orang yang kukenal mencintaiku dengan sungguh, justru yang membuatku jadi runtuh? Bagaimana mungkin, orang yang kukenal menyayangiku sejak dulu, justru yang meninggalkanku dengan banyak luka dan pilu? 

Jika dia memiliki banyak alasan untuk berkhianat, akupun memiliki banyak alasan untuk melakukan hal yang sama. Namun bagiku pernikahan bukanlah sebuah permainan. Tidak ada manusia yang sempurna, namun melalui pernikahan, seharusnya aku dan dia bisa saling menyempurnakan. Tidak ada yang tiba-tiba, namun melalui pernikahan, seharusnya aku dan dia bisa saling menegur dan memaafkan. Berdiskusi dan membicarakan segala hal yang butuh perbaikan. Bukan justru meninggalkan dan ditinggalkan. Cinta yang tidak dijaga telah liar dan kemana-mana, berakhir menjadi luka yang akan meninggalkan bekas selamanya.  Pada akhirnya, Aku menyadari jika aku sudah lelah, aku telah patah. Aku mencintainya seperti cahaya pada cermin. Namun jika retak, yang hilang bukan cuma wajahnya, tapi aku, dibalik pantulan itu. Kini cermin itu bukan hanya retak, tapi telah pecah, jatuh berkeping-keping.

Aku pernah menjadi ateis dengan cara yang sangat sederhana. Begitu minimalis. 

Aku pernah mempercayainya melebihi rasa percayaku pada Tuhan. Aku pernah berharap padanya melebihi harapanku pada Tuhan. Aku pernah bersandar padanya melebihi sandaranku pada Tuhan. Aku pernah bergantung padanya melebihi ketergantunganku pada Tuhan. Maka akhirnya Tuhan menamparku dengan sempurna. 

Aku yang runtuh, luka, hancur dan babak belur akhirnya menarik diriku, kembali pada sosok yang tidak akan pernah meninggalkanku. Cinta dan sayangku padanya kukembalikan pada Tuhan. Aku serahkan pada Tuhan segala perasaanku untuknya. Aku tidak ingin menjadi ateis lagi. Aku benar-benar mengandalkan Tuhan kali ini. Kugantungkan segala harapan. Kupanjatkan segala asa. Kudoakan segala kekhawatiran. Aku tidak ingin menjadi manusia yang rugi. 

Aku tidak akan lupa atas sikap adiknya yang membuat story di medsos mengenai "parasit" dan "numpang hidup". Aku tidak akan lupa bagaimana sumpah serapahnya ia ucapkan untukku dan keluargaku. Aku tidak akan lupa nama kedua orang tuaku yang ia sebut dengan begitu lancang. Ya, nama yang dulu ia ucapkan dengan penuh hormat saat mengucap akad, kini ia sebut dengan penuh penghinaan. Tidak akan lupa berbagai hinaan-hinaan itu. Aku tidak dendam, urusannya serta keluarganya yang telah begitu melukai perasaan paling dalam, sungguh telah kuserahkan pula pada Tuhan. Tidak ada doa buruk yang kupanjatkan untuk mereka, meski cacian darinya terhadapku dan keluargaku begitu menyakitkan. 

Hingga akhirnya perjalanan hidupku kini membawaku menjadi wanita yang lebih mandiri. Bukan karena aku mau, tapi karena kehidupan mengajarkan cara berdiri teguh dengan kedua kaki sendiri. Perlahan aku mulai sembuh, bukan dengan orang baru, namun sembuh dengan waktu. Saat itu aku selalu berujung meneteskan air mata kalau playlistku mulai memutar Album yang isinya lagu-lagu Bernadya, atau lagunya Umay yang judulnya Perayaan Mati Rasa, serta lagu lainnya yang aku merasa relate. Namun kali ini, tidak ada perasaan berarti saat lagu-lagu yang sama kembali terdengar. 

Mata yang sayu itu kini mulai lebih tajam. Rambut panjang yang dulu sempat kupotong pendek perlahan mulai memanjang. Bahkan rambutku yang dulu rontok kini mulai tumbuh kuat tanpa bantuan minyak kemiri. Suaraku yang bergetar kini mulai lantang. Tubuhku yang lemah dan tinggal tulang kini perlahan mulai membaik dan bisa berlari walau belum kencang. Aku telah menerima dunia baru yang sebenarnya. Dunia yang dulu sedetikpun tidak pernah aku bayangkan. Dunia yang kukira terang dan seketika redup, kali ini berubah perlahan menjadi lebih terang benderang. Apa yang kuceritakan saat ini adalah rasa pedih dari lukaku yang perlahan mulai mengering. Kemarin, waktu darahnya masih baru banget netes, aku lap sendiri berkali-kali. Kutulis ini semua agar suatu saat aku bisa kembali untuk melihat cerita hidupku ini. Tapi dengan versi perempuan dan Ibu yang lebih kuat dan bahagia. 

Kali ini, kunyatakan, aku telah kembali dan tidak ingin menjadi ateis lagi. Meski melalui cara yang paling minimalis.


RRI.co.id - 'Bunga Maaf' dari The Lantis Jadi Viral, Bukti Kekuatan Musik
PS : Lagu ini kupersembahkan untuk diriku dan dua Jagoan Neonku. Dear diriku, maaf telah membiarkanmu kehilangan harga diri... Dear dua Jagoan Neon, maaf atas segala hal yang telah terjadi. Setelah ini, aku pastikan diriku berharga, aku pastikan Jagoan Neon akan hidup berlimpah kasih dan cinta.


END
02:39 WIB, 7 Jun '25
Kutulis sambil mendengar suara favoritku : rintik hujan dan dengkuran Dua Jagoan Neon.

Komentar

Postingan Populer